P2KKP OKI - Kondisi masyarakat kekinian/kontemporer terdapat peningkatan minat pada gagasan-gagasan modal sosial
dan masyarakat madani atau masyarakat sipil (sivil society). Gagasan modal sosial adalah bahwa seseorang dapat melakukan
investasi sosial sebagaimana secara ekonomis dan infrastruktur, dan modal
ekonomis dari suatu masyarakat dapat bertambah, jika ini terjadi atas biaya
modal sosial maka hal tersebut adalah semu. Modal sosial dapat dilihat sebagai
“perekat” yang menyatukan masyarakat yang heterogen dan terdistorsi akibat
adanya kepentingan terutama konflik kepentingan dan kekuatan hegemonik. Untuk
itu diperlukan upaya agar dapat menyatukan masyarakat, hubungan atau relasi
antar manusia tanpa adanya sekat antara potensi konflik SARA, orang melakukan
apa yang dilakukannya terhadap sesamanya karena adanya kewajiban sosial dan
timbal balik, solidaritas sosial dan komunitas.
Sejalan dengan pergantian solidaritas masyarakat dan
sosial oleh capaian individual sebagai prioritas yang dipahami bagi tindakan
manusia. Diperlukan upaya bersama untuk membalikkan kecenderungan ini, untuk
merubah dan mencegah erosi modal sosial lebih jauh lagi dari moniter, investasi
dalam program-program yang bertujuan untuk membangun modal sosial di seluruh
masyarakat luas termasuk program peningkatan kualitas kawasan permukiman (P2KKP).
Bagian dari membangun modal sosial adalah memperkuat
mayarakat termasuk melalui pelatihan-pelatihan dan pertemuan. Masyarakat madani
merupakan tingkatan puncak dari derajat keintiman relasi sosial setelah
masyarakat mandiri. Kondisi dari stratifikasi peran masyarakat tersebut
digunakan untuk struktur-struktur formal atau semiformal yang dibentuk
masyarakat secara sukarela yang dalam Program Peningkatan Kualitas Kawasan
Permukiman (P2KKP) terdapat LKM, Unit Pengelolah dan Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM) dengan insentif mereka sendiri bukan bagian dari konsekuensi
dari program atau arahan tertentu dari pemerintah. Lembaga Keswadayaan
Masyarakat dan Unit-Unitnya termasuk KSM dibentuk untuk membantu pemerintah
dalam mengurai kue pembangunan agar lebih berkeadilan dalam perspektif
masyarakat, karena arena keluasannya disusun dan ditentukan oleh masyarakat itu
sendiri dengan berpedoman pada PJM Pronangkis dan data yang didapat memalui
penyusunan profil kumuh (model pembangunan Buttom- UP).
Menurut Robert Putnam (1993), Kinerja ekonomi dari
masyarakat pada komunitas tertentu seperti Unit Pengelolah Keuangan (UPK)
berkorelasi secara langsung dengan kegiatan masyarakat. Karena masyarakat itu
sendiri tidak hanya harus mengintensifkan modal sosial tetapi juga memperkual
kinerja ekonomi dan memaksimalkan asset yang ada.
Munculnya ketidakpercayaan ini harus diatasi dengan memaksimalkan
peran masing-masing dari masyarakat majemuk untuk ikut andil dalam proses
pembangunan masyarakat terutma mengentaskan kemiskinan dan kekumuham merupakan
implikasi logis akibat mulai lunturnya modal sosial dalam masyarakat secara
kekinian.
Untuk itu, interaksi dan komunikasi masyarakat agar
mempunyai kepedulian dan perubahan perilaku agar lebih peka terhadap kondisi
masyarakat sekitar karena itu ruh dan esensi dari proses pemberdayaan yang
tidak hanya untuk membangun infrastruktur fisik lingkungan, penguatan ekonomi
juga lebih dari itu yakni menumbuhkan kepedulian dari yang berkemampuan untuk
yang termarjinalkan.
Perubahan perilaku itu tidak bisa dibentuk dalam
sesaat tetapi harus simultan dan butuh sinergisitas yang komprehensip bagi
setiap lapisan masyarakat mulai dari aparat kelurahan/desa, LKM, para UP sampai
pada tataran masyarakat sipil. Untuk melakukan pembangunan tidak akan berhasil
secara baik dan maksimal jika hanya dilakukan hanya sebagian pihak namun harus
dilakukan secara komprehensif dan melibatkan stakeholders.
Menurut teori pelayanan publik, bahwa yang bertanggung
jawab melakukan pembangunan dan melayani masyarakat itu meliputi pihak
masyarakat itu sendiri melalui bentuk kemandirian, pemerintah dengan anggaran
dan kebijakan yang ada, dan pihak swasta seperti dunia usaha dan industri. Hal
ini dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
(Otoda) yang membuka ruang untuk pemerintah daerah mengelolah daerahnya sendiri
dan pemerintah pusat hanya memberikan dukungan. Dengan demikian, proses
pembangunan tidak hanya menunggu dana dari pusat (APBN) tetapi juga bisa dengan
dana APBD bahkan dana lain yang legal seperti Corporate
Social Responsibility (CSR).
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 perseroan terbatas,
Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan
komitmen perusahaan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan
guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi
perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat umum. Dalam P2KP
dikenal ekonomi bergulir dan PPMK yang membina ekonomi produktif, maka
menindaklanjuti dasar konstitusi di atas maka perusahaan atau BUMN bisa
dimintai dana untuk membantu masyarakat mengembangkan usaha atau dengan kata
lain ada peluang kemitraan asal masyarakat mau dan saling bersinergi.
Lebih lanjut, pada Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003
tentang BUMN Pasal 2 mengharuskan BUMN untuk memberikan bimbingan dan bantuan
kepada pengusaha lemah. Kemudian pada Pasal 88 ayat 1 bahwa BUMN wajib menyisihkan
laba bersih untuk melakukan pembinaan masyarakat ekonomi lemah yang ada di sekitar untuk mengembangkan
usahanya. Dengan demikian, BUMN harusnya sudah mempunyai pos anggaran dengan
dana yang dialokasikan untuk tanggung jawab mereka dari keuntungan perusahaan.
Jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk mengatakan kurang dana atau tidak ada
dana CSR.
Melihat kondisi ini yang membuat LKM Mekar Sari di
bawah koordinator Bpk. Sanusi melakukan perbincangan di Rumahnya yang dihadiri
Aparat Desa yang difasilitasi oleh Tim Faskel pada tanggal 9 November 2015
untuk membedah kemungkinan melakukan kemitraan dengan persahaan atau dunia
usaha sekitar. Langka awal adalah sosialisasi tentang aturan dan dasar
konstitusi bahwa notabene perusahaan berkewajiban membantu proses pembangunan
masyarakat sekitar perusahaannya dengan dana tanggung jawab sosial (baca: CSR).
Setelah itu dapat dilakukan pemetaan kebutuhan masyarakat yang bisa menggunakan
data profil permukiman yang telah disusun dan kemudian melakukan inventarisasi
perusahaan mana yang relevan untuk dilakukan audiensi. Hal ini cukup berat
karena masih dianggap sedikit asing oleh LKM, namun jika dilakukan secara baik
dan terencana maka hal itu dapat terlaksana diawali dengan menumbuhkan
kepedulian sesama dan modal sosial sebagai dasar kekuatan bersama untuk
melakukan gerakan sosial dan menciptakan LKM mandiri yang kritis dan sadar
hak-haknya yang dijamin konstitusi sebagai wakil masyarakat.
Dengan adanya sinergisitas antara LKM, aparat desa,
masyarakat sipil maka proses pembangunan akan seimbang melalui berbagai aspek
pendanaan dan pelaku tidak hanya membebankan pada pemerintah, masyarakat, tapi
juga bisa meminta itikad baik dari perusahaan dengan “memaksanya” untuk
bermitra karena itu menjadi kewajibannya.
Ditulis Oleh:
Purna Irawan, S.Sos
Fasilitator Sosial TF-30 Korkot 5 Ogan Komering Ilir (OKI)
P2KKP OC-02 Provinsi Sumatera Selatan
email: purna_irawan21@yahoo.co.id